Jean Paul Sartre
Jean Paul Sartre tokoh
eksistensialisme yang besar di abad ke 20 ini lahir di Paris, Prancis, pada
tanggal 21 Juni 1905 M. Sartre besar di lingkungan keluarga yang sedang-sedang
saja – tidak miskin, tidak juga kaya. Ayahnya, Jean Baptiste penganut agama Katolik.Sedang
ibunya, Anne Marie Schweitzer beragama Protestan.Di usianya yang masih balita,
dia harus menjadi yatim, karena ditinggal mati oleh ayahnya yang sedang
menunaikan tugas negara sebagai seorang perwira angkatan laut di Indocina.
Faktual, sejak saat itu, ia dibimbing dan diasuh ibunya dengan penuh kasih
sayang “poulou” panggilan kesayangannya. Kakeknya, Charles Schweitzer - seorang
guru bahasa dan sastra Jerman - tidak kalah menyayangi Sartre sebagaimana
sebutan sayangnya dengan julukan “anak emas” atau “anak ajaib”.
Semenjak kecil fisik Sartre memang lemah, di
usia 4 tahun dia mengidap penyakit strabismus ‘mata juling’,
itulah sebabnya ia selalu menjadi bahan olok-olok teman sekelasnya. Dari sana
ia memiliki sensitivitas yang tinggi. Sekolah menjadi pengalaman tersendiri
baginya, ia menjadi anak yang “minder” dan “penyendiri” sehingga dia lebih
punya waktu bepikir dan merenung. Suatu gejala yang biasa terdapat pada
anak-anak di mana kondisi fisiknya lemah serta lingkungan yang tidak
menguntungkannya. Namun kemudian ia menemukan kesenangannya pada perpustakaan
pribadi kakeknya yang berjumlah ratusan buku.
Pada tahun 1924, Sartre berhasil mencatatkan
dirinya sebagai salah seorang mahasiswa Ecole Normale Superieure, sebuah
perguruan tinggi bergengsi di prancis. Namun mengejutkan, pada ujian
kelulusannya yang pertama (agregation) ia mendapat peringkat terakhir di
kelasnya. Selang penundaannya pada agregation kedua mempertemukannya dengan
seorang mahasiswi filsafat yang cantik, pandai dan baik pula kepada Sartre,
yaitu Simone De Beauvoir.Mereka saling cinta dan bersahabat sampai Sartre
meninggal. Keduanya tak pernah menikah, mereka memanggil satu sama lain dengan
sebutan formal “Anda”. Mereka kerap menghabiskan waktunya bersama, menonton
film serta belajar bersama guna menghadapi ujian. Pada agregation kedua, Sartre
mendapat peringkat pertama dan simone de beauvoir menempati peringkat kedua.
Dia pernah ke Jerman, disanalah dia bertemu dengan
Husserl.Pertemuannya dengan Husserl memiliki tempat yang penting dalam
perkembangan pemikiran Sartre di kemudian hari. Sepulang dari jerman dia
kembali mengajar di la havre dan di Lycee pasteur.
Eksistensialisme Jean
Paul Sartre adalah
aliran eksistensialisme yang dicetuskan dan dipublikasikan oleh
Sartre.Aliran eksistesialimenya tersebut dipengaruhi oleh tiga pemikiran pokok,
yaitu Marxisme, eksistensialisme, dan fenomenologi.Pada dasarnya,
eksistensialisme Sartre bukanlah sebuah aliran filsafat, melainkan sebuah
gerakan perlawanan terhadap filsafat tradisional.Dalam eksistensialisme, Sartre
banyak menggarap permasalahan mengenai manusia.Sartre juga membahas tentang
kebebasan menjadi seorang manusia, bahkan hasrat manusia untuk menjadi Tuhan.
Eksistensialisme menurut pemikiran Sartre dibagi menjadi 5 bagian, yaitu :
1.
La Nausse
Nausee berarti rasa ingin
muntah dan mual. La Nausee sebenarnya merupakan sebuah judul
roman karya Sartre. Dalam novel ini ia menggambarkan bagaimana seseorang yang
dalam hidupnya secara tiba-tiba melihat sekelilingnya terasa begitu membosankan
dan menimbulkan rasa mual. Ketika manusia mengalami kesadaran bahwa dirinya
sendiri dan seluruh kenyataan yang ada sebagai sesuatu yang membebani, manusia
akan merasa tertindas. Keadaan inilah yang akan membuat manusia merasa mual.
nilah yang dimaksud Sartre sebagai nausee.
2.
L''etre-en-soi
Etre jika diterjemahkan secara lurus artinya
"ada" atau "sesuatu yang ada".Dalam bagian ini Sartre
berbicara mengenai realitas.Realitas adalah barang-barang yang ada.Misalnya,
manusia dapat mengerti mengenai bumi karena mereka menginjak bumi.Jika
diterjemahkan, istilah L'Etre-en-soi berarti pengada yang
tidak sadar.Pengada yang tidak sadar gelap bagi dirinya sendiri.Dia tidak dapat
dianalisis atau dipikirkan, bahkan tidak mungkin mencari sebab mengapa dia ada.[ Akan
tetapi, konsep pengada yang tidak sadar ini tidak bisa mengarah ke pengertian
bahwa yang dimaksud di sini adalah Tuhan.
3.
L'etre-pour-soi
L'etre-pour-soi berarti pengada yang
sadar.Sartre menujuk manusia sebagai pengada yang sadar. Sadar akan sesuatu
maskudnya terhubung atau berhubungan dengan sesuatu. Menurut Sartre, sadar akan
sesuatu berarti meniadakan sesuatu. Tindakan manusia bersifat dinamis dan
berubah-ubah. Ketika manusia sadar akan dirinya sendiri, maka dia sebenarnya
sedang ada dalam peralihan, meniadakan dirinya sendiri. Disini manusia menjadi
objek yang disadari sekaligus subjek yang sadar.
4.
La Liberte
La liberta artinya kemerdekaan. Dalam bagian ini
Sartre membicarakan mengenai kemerdekaan manusia.Manusia bergerak atas
kehendaknya sendiri, tidak seperti mesin yang digerakkan.Kemerdekaan menempati
posisi sentral dalam diri manusia.Kemerdekaan manusia menurut Sartre adalah
ketika manusia dapat menguasai dirinya secara bebas.Menurut Sartre hidup dan
kemerdekaan pada dasarnya sia-sia belaka.
5.
L'autrui
L'autrui membicarakan mengenai hubungan manusia
dengan sesama manusianya.Menurut Sartre hubungan manusia dengan sesama
manusianya adalah mutlak. Satre menyatakan bahwa dalam berhubungan dengan
manusia lain pilihannya adalah menjadi subjek atau objek. Kemudian Sartre
mengatakan bahwa dalam pergaulan konflik dan permusuhan akan muncul secara
terus menerus.
Sumber :
http://ombymuhammad.weblog.esaunggul.ac.id/2015/06/19/jean-paul-sartre/
Komentar
Posting Komentar