Kehendak Berkuasa Menurut Friedrich Nietzsche
Konsep kehendak untuk berkuasa (the will to power) adalah salah satu konsep yang
paling banyak menarik perhatian dari pemikiran Nietzsche. Dengan konsep ini ia
bisa dikategorikan sebagai seorang pemikir naturalistik (naturalistic thinker), yakni yang melihat manusia
tidak lebih dari sekedar insting-insting alamiahnya (natural instincts) yang mirip dengan hewan, maupun
mahluk hidup lainnya. Nietzsche dengan jelas menyatakan penolakannya pada
berbagai konsep filsafat tradisional, seperti kehendak bebas (free will),
substansi (substance),
kesatuan, jiwa, dan sebagainya. Ia mengajak kita memandang diri kita sendiri
sebagai manusia dengan cara-cara baru. Sebagaimana dicatat oleh Porter, ada
tiga konsep dasar yang mewarnai seluruh pemikiran Nietzsche, yakni penerimaan
total pada kontradiksi hidup (1), proses transendensi insting-insting alamiah
manusia (2), dan cara memandang realitas yang menyeluruh (wholism) (3). Pemikiran tentang kehendak untuk
berkuasa terselip serta tersebar di dalam tulisan-tulisannya sebagai
fragmen-fragmen yang terpecah, dan seolah tak punya hubungan yang cukup jelas.
Dari semua fragmen tersebut, menurut Porter, setidaknya ada tiga pengertian
dasar tentang kehendak untuk berkuasa, yakni kehendak untuk berkuasa sebagai
abstraksi dari realitas (1), sebagai aspek terdalam sekaligus tertinggi dari
realitas (the nature of reality)
(2), dan sebagai realitas itu sendiri apa adanya (reality as such) (3).
Ketiga makna itu bisa disingkat dalam rumusan berikut, sebagai
hakekat terdalam dari alam semesta beserta dengan geraknya yang dilihat dari
sisinya yang paling gelap. Dalam bahasa Nietzsche kehendak untuk berkuasa
adalah “klaim kekuasaan yang paling tiranik, tak punya pertimbangan, dan tak
dapat dihancurkan.” Bisa dikatakan ketika berbicara tentang kehendak untuk
berkuasa, Nietzsche berubah menjadi seorang filsuf monistik, yang melihat
realitas tersusun dari satu unsur terdalam (fundamental aspect) yang menentukan segalanya. Unsur
terdalam itulah yang disebutnya sebagai kehendak untuk berkuasa. Ini adalah
gambaran intuitif realistik tentang realitas kehidupan manusia, dan kehidupan
alam semesta pada umumnya. Dorongan ini tidak dapat ditahan, apalagi
dimusnahkan, karena segala sesuatu yang ada berasal dari padanya. Jadi seluruh
realitas ini, dan segala yang ada di dalamnya, adalah ledakan sekaligus bentuk
lain dari kehendak untuk berkuasa. Ia ada di dalam kesadaran sekaligus
ketidaksadaran manusia. Ia ada di dalam aspek intelektual sekaligus instingtual
manusia. Kehendak untuk berkuasa adalah dorongan yang mempengaruhi sekaligus
membentuk apapun yang ada, sekaligus merupakan hasil dari semua proses-proses
realitas itu sendiri. Semua ini terjadi tanpa ada satu sosok yang disebut
sebagai pencipta, atau subyek agung. Semua ini adalah gerak realitas itu
sendiri yang berjalan mekanis, tanpa pencipta dan tanpa arah.
Bagi Nietzsche dunia adalah sesuatu yang hampa. Dunia tak memiliki
pencipta, namun bisa hadir dan berkembang dengan kekuatannya sendiri. Di dalam
dunia semacam ini, tidak ada pengetahuan obyektif. Yang diperlukan untuk
memperoleh pengetahuan adalah subyektivitas (subjectivity) dan kemampuan untuk menafsir (interpretation).
Dua hal ini menurut Nietzsche lahir dari kehendak untuk berkuasa itu sendiri. Dengan subyektivitas dan kemampuan untuk
menafsir, manusia bisa melihat hubungan sebab akibat (causality) di dalam dunia. Dengan dua kemampuan ini,
manusia bisa menempatkan diri, sekaligus menempatkan benda-benda yang ada di
dalam dunia pada tempat yang semestinya. Kehendak untuk berkuasa mendorong
manusia untuk menjadi subyek yang aktif di dalam menjalani hidup, sekaligus
menjadi penafsir dunia yang memberi makna (meaning) atasnya. Dengan kehendak untuk berkuasa,
manusia bisa menciptakan dan menata dunia. Dalam arti ini dunia adalah tempat
yang bukan-manusia (inhuman).
Dunia menjadi bermakna karena manusia, dengan subyektivitas serta kemampuannya
menafsir, memberinya makna, dan menjadikannya “manusiawi” (human).
Filsafat Nietzsche banyak dipengaruhi oleh tokoh-tokoh yang ia
kagumi dan para filsuf sebelum dirinya. Selain itu, Filsafatnya juga
dipengaruhi oleh unsur filologis yang berisi tentang Yunani. Hal ini
dikarenakan oleh ketertarikannya terhadap filologi yang bercerita tentang
legenda-legenda Yunani. Dan juga Filsafat Nietzsche adalah filsafat cara
memandang 'kebenaran' atau dikenal dengan istilah filsafat perspektivisme.
Nietzsche juga dikenal sebagai "sang pembunuh Tuhan" (dalam Also
sprach Zarathustra). Ia memprovokasi dan mengkritik kebudayaan Barat di
zaman-nya (dengan peninjauan ulang semua nilai dan tradisi atau Umwertung aller
Werten) yang sebagian besar dipengaruhi oleh pemikiran Plato dan tradisi
kekristenan (keduanya mengacu kepada paradigma kehidupan setelah kematian,
sehingga menurutnya anti dan pesimis terhadap kehidupan). Walaupun demikian
dengan kematian Tuhan berikut paradigma kehidupan setelah kematian tersebut,
filosofi Nietzsche tidak menjadi sebuah filosofi nihilisme. Justru sebaliknya
yaitu sebuah filosofi untuk menaklukan nihilisme (Überwindung der Nihilismus)
dengan mencintai utuh kehidupan (Lebensbejahung), dan memposisikan manusia
sebagai manusia purna Übermensch dengan kehendak untuk berkuasa (der Wille zur
Macht).
Dalam filsafat Nietzsche dijelaskan bahwa
hidup adalah penderitaan dan untuk menghadapinya kita memerlukan seni. Seni
yang dimaksud oleh Nietzsche ada dua jenis, yaitu Apolline dan Dionysian.
Sehingga Nitzsche mengagumi Richard Wagner yang ikut mempengaruhi gaya
filsafatnya. Oleh karena itu Nietzsche dikenal sebagai filsuf seniman
(Künstlerphilosoph) dan banyak mengilhami pelukis modern Eropa di awal abad
ke-20, seperti Franz Marc, Francis Bacon,dan Giorgio de Chirico, juga para
penulis seperti Robert Musil, dan Thomas Mann. Menurut Nietzsche kegiatan seni
adalah kegiatan metafisik yang memiliki kemampuan untuk me-transformasi-kan
tragedi hidup.
Sumber :
Komentar
Posting Komentar